Dari Kartu Pos Hadirlah Cinta



Dari Kartu Pos Hadirlah Cinta

Oleh : Asep Mahmud

 

Entah tanggal berapa, sepertinya aku sudah lupa. Yang kuingat hanya tahun 1996, beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri. Siang itu, Si Ucok, tukang pos yang biasa mengantarkan surat hadir dengan selembar kartu pos untukku. Kutelusuri pada bagian pengirim tertulis sebuah nama yang belum kukenal dengan alamat dari sebuah kota di Jawa Timur.

Tanpa pikir panjang, kubalik dan kubaca isi berita kartu pos itu. "Dia" menulis kalimat yang mengenalkan dirinya. Eh, ternyata sang pengirim adalah alumnus dari lembaga yang sama tempatku menuntut ilmu. Hanya saja karena keterbatasan dan peraturan di sana tidak memudahkan perkenalan antar siswanya yang berbeda jenis kelamin kecuali memang berada dalam satu organisasi daerah masing-masing.

Kartu pos itu berisi ucapan selamat hari raya untukku dan sebuah berita tentang pernikahan salah satu teman kami. Ketika menerima kartu pos itu ada dua perasaan yang timbul dalam benakku, yaitu heran dan gembira. Heran karena si pengirim tidak pernah kukenal, dan gembiranya karena cukup lama tidak pernah lagi ada yang mengirim surat padaku.

Ya sudahlah, kutepiskan keheranan itu. Sekarang aku gembira. Bagaimana tidak gembira, sebagai lelaki dewasa yang normal dan masih ‘jomlo’, kata anak zaman now, pastilah senang mendapatkan kiriman sebuah kartu pos dari lawan jenisnya.

Kalimat demi kalimat kubaca. Hingga hati ini ingin sekali merespon dengan cara membalasnya. Pada hari yang sama, kubalas kiriman kartu posnya.

Kugoreskan penaku. Kubiarkan dia menari-nari di atas kartu pos membentuk untaian kata, kalimat dan paragraf. Hingga pada satu bagian kalimat kutulis pertanyaan tentang status dirinya. Berani sekali ya, aku. Ya. Aku beranikan diri. Namun bahasa yang kutuliskan bukanlah pertanyaan yang umum seperti, apakah kamu sudah punya pacar atau sejenisnya. Melainkan sebuah kiasan dengan kata parkir, "Apakah sudah ada lelaki yang parkir?" Ya, kira-kira begitulah.

Sejak saat itu, kami pun semakin kerap saling berkirim surat. Ya, karena belum ada teknologi secanggih SMS atau WhatsApp seperti sekarang. Hingga pada saatnya kami dapat berkomunikasi melalui telepon.

Telepon merupakan alat komunikasi yang paling populer saat itu. Karena keluargaku dan keluarganya juga tidak memiliki jaringan telepon, namun karena usaha wartel atau warung telepon saat itu sangat menjamur, akhirnya dia sering menghubungiku melalui telepon bibiku yang tinggal di belakang rumahku.

Seringnya kami berkomunikasi via telepon, membuat diriku agak sungkan jika harus 'menumpang' telepon di rumah bibi. Untunglah tidak jauh dari rumahku ada kantor STO Telkom yang memasang telepon umum koin (TUK) yang dapat dipanggil. Karena biasanya telepon umum digunakan untuk memanggil. Ini sebuah anugerah bagiku.

Akhirnya usai Subuh kami janjian untuk bertelepon via TUK itu. Karena jarak yang jauh, maka biaya panggilan interlokal atau SLJJ (sambungan langsung jarak jauh) dilakukan tengah malam hingga sebelum pukul enam pagi akan mendapatkan potongan harga. Kutunggu telepon berdering dan kami pun bercakap-cakap. Ini berlangsung beberapa kali. Selain telepon umum, kadang aku menghubunginya dari wartel. Begitulah romantika awal hubungan kami.

Dari hari ke minggu, minggu ke bulan, hingga kami pun menyepakati untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Aku berniat untuk membicarakan hal ini pada keluargaku mengenai hubungan kami. Sebagai anak bungsu di keluarga tanpa orang tua, aku beranikan diri membicarakannya kepada kakak-kakakku. Alhamdulillah mereka merespon positif. Dan direncanakanlah sebuah kunjungan kami ke keluarganya.

Kusampaikan rencana ini kepadanya. Hingga tibalah waktu yang dinantikan. Aku bersama dengan kakak tertuaku pergi ke kotanya dengan menumpang kereta api.

Akhirnya kami pun bertemu dengan keluarganya. Alhamdulillah kami diterima dengan baik. Padahal suasana hati yang bimbang sempat berkecamuk. Kegalauan muncul karena takut keinginan tidak diterima.

Yang sempat kudengar ada ungkapan dari ayahnya, kalau ayahnya pernah bermimpi kehilangan tutup tempat nasi dan akhirnya ketemu.  Mungkin inikah jodoh?

Dalam pertemuan itu ku beranikan diri berbicara pada “camer” (calon mertua) bahwa aku menyukainya dan akan berumah tangga serta memboyongnya ke Jakarta. Setelah itu sang ayah menjawab seraya mengiyakan permintaanku.

Pembicaraan demi pembicaraan di antara kami pun berlalu hingga terjadilah sebuah kesepakatan tentang waktu dilangsungkannya akad nikah. Kami memilih tanggal 22 Juni 1996 untuk pelaksanaan akad pernikahan kami.

Seizin dan arahan dari sang ayah, kami mengunjungi sanak keluarganya untuk berkenalan dan sekaligus mencari pakaian untuk akad nikah dan resepsi pernikahan kami.  Karena salah satu dari keluarganya ada yang memiliki usaha rias pengantin. Dan kami pun memilih beberapa stel pakaian.

Menghitung hari. Detik demi detik. Kiranya itulah syair lagu Krisdayanti yang dapat mewakili keadaan kami. Setelah pertemuan keluarga yang menyepakati waktu pernikahan kami, kini masih ada beberapa minggu menuju hari yang sakral itu. Namun karena cinta sudah berperan dalam kehidupan ini, waktu sehari pun akan terasa setahun.

Kalau dihitung-hitung, masa dari perkenalan kami melalui kartu pos hingga ketetapan untuk melangkah ke jenjang pernikahan adalah sekitar tiga bulanan. Betapa waktu yang pendek. Namun persiapan yang harus kami lakukan pun tidak sedikit.  Secara lahir dan batin harus kami menempuh beberapa prosedur dari mulai mendaftarkan diri ke kantor urusan agama (KUA), surat numpang nikah, karena aku dari Jakarta yang akan melangsungkan pernikahan di daerah lain. Hingga pemeriksaan kesehatan di puskesmas. Semua kami jalani dengan baik.

    Waktu yang dinanti semakin dekat. Beberapa anggota keluargaku dan sanak saudara berjumlah lima belas orang tengah bersiap-siap untuk perjalanan jauh mengantarkan “Si Bontot”, sebutan untukku sebagai anak terakhir di keluargaku. Kami menempuh perjalanan dengan kereta api dari Stasiun Pasar Senen.

    Sesampainya di Stasiun Blitar, kami disambut oleh keluarga calon istriku. Lalu kami pun dibawa menuju salah satu rumah keluarganya yang berada tidak jauh dari rumahnya. Tampak di rumahnya sudah berdiri ‘tenda biru’ dengan dekorasi taman yang sangat indah.

  Di rumah singgah, kami bersiap-siap untuk bertemu dengan calon besan untuk mengantarkan bingkisan bawaan kami untuk diserahkan kepada calon pengantin putri pada malam harinya.

Pertemuan pun berlangsung lancar dan khidmat. Yang mewakili dari pihak keluargaku, suami sepupuku. Dia seorang tentara di bagian kerohanian. Sementara yang mewakili pihak keluarga calon istriku adalah pamannya. Acara berakhir dengan penyerahan beberapa bingkisan yang kami bawa kepada pihak keluarganya.

Keesokan harinya, hari akad nikah. Aku dan calon istriku berada di hadapan petugas pencatat nikah dari KUA dan ayah calon istriku. Kakakku yang lelaki menjadi saksi akad nikah dari pihak keluargaku, sementara paman istriku menjadi saksi dari pihak keluarganya.

               Setelah rangkaian akad nikah dilewati, petugas pencatat nikah menyerahkan buku nikah untuk ditandatangani oleh kedua mempelai. Dan kami pun dinyatakan resmi menjadi pasangan suami istri. “Barakallahu lakuma wabaraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fi khair”, demikian ucap petugas seraya mendoakan kami. Alhamdulillah.

Di pelaminan, acara resepsi diisi beberapa prosesi. Dari mulai sungkeman hingga sesi foto. Sementara di deretan kursi tamu, tampak beberapa teman dari sekolah kami berbaur dengan tamu lainnya.

Sekarang, lebih dua puluh lima tahun usia pernikahan kami. Kami dikaruniai dua orang putri yang cantik-cantik. Semoga Allah menjaga keluarga kami hingga akhir hayat nanti.

Tiada laut yang tak berombak. Tiada gading yang tak retak. Ungkapan untuk manusia yang pasti tidak sempurna. Demikian pula dalam perjalanan hidup kami. Terkadang gangguan dan godaan datang melanda bahtera pernikahan kami. Namun sedikit demi sedikit gangguan itu dapat kami atasi. Pastinya dengan kesungguhan hati dan usaha serta pertolongan dari yang Maha Kuasa Sang Pemilik Cinta, Allah Al-wadud.

Kami tinggal di sebuah rumah tua warisan dari orang tua. Seiring dengan waktu, rumah kami mengalami kerusakan sedikit demi sedikit. Sementara dana menurutku tidak mungkin cukup karena keinginan untuk memperbaiki kediaman kami. Bahkan penghasilanku sebagai guru yang waktu itu masih minim.  Kalau dihitung-hitung pun mustahil dapat mencukupi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun tak akan cukup tanpa andil dari penghasilan istriku yang juga mengajar di sekolah kecil. Kagetnya diriku ketika istriku menyampaikan bahwa dirinya “secara diam-diam” memiliki sejumlah dana yang bisa dikatakan dapat menjadi dana awal untuk menjalankan renovasi rumah. Itulah dia, istriku yang pandai mengelola keuangan. Akhirnya kami berhasil merenovasi rumah kami untuk yang pertama kali. 

Waktu demi waktu pun berlalu. Aku mendapatkan peningkatan penghasilan dari statusku sebagai guru bersertifikasi. Pernah pada tahun 2010, tunjangan guru tidak juga cair. Namun karena buah kesabaran kami, kami anggap dana tunjangan yang belum cair itu sebagai tabungan. Dan pada tahun berikutnya, dana itu pun dapat kami terima. Atas masukan dari kawan dan kolega, agar kami dapat menggunakan dana itu dengan bijak. Akhirnya ku putuskan untuk mempergunakan dana itu untuk mendaftarkan keberangkatan haji di kantor kementerian agama. 

Ketika ku utarakan niatku untuk mendaftar haji, istriku berkata agar aku tidak berangkat sendiri, melainkan juga mengajaknya untuk berhaji. Dia menyatakan demikian karena dia ternyata memiliki simpanan berupa uang dan perhiasan yang cukup untuk mendaftar haji. Akhirnya kami pun resmi mendapatkan nomor porsi haji pada tahun 2012 untuk berangkat pada tujuh tahun kemudian.  Alhamdulillah, Allah memudahkan jalan kami menuju Baitullah. Labbaika Allahumma labbaika, Aku penuhi panggilanMu ya Allah. Kami berangkat pada tahun 2019 lalu. Haji terakhir sebelum pandemi Corona. 

Keberkahan demi keberkahan pasca haji pun kami peroleh. Kami meyakini bahwa inilah janji Allah pada hambaNya yang mendahulukan panggilannya dibanding urusan dunia. Ini terbukti kami masih diberikan kemudahan untuk kembali merenovasi kediaman kami dengan biaya yang sangat besar bagi kami. Lagi-lagi, keberkahan memiliki pasangan hidup yang selalu sedia lahir batin untuk mendampingiku di saat mendapatkan masalah dan kesulitan hidup.

Terima kasih, sayang. Terima kasih istriku. Semoga Allah tetap melindungi dan memberikan bimbingan bagi kita dalam mengarungi kehidupan serta memberikan kesabaran untuk mendidik anak-anak kita. Ya Allah bimbinglah kami agar dapat (selalu) mengingatMu dan menjadi hambaMu yang baik.   Amin.

 

 

 


 

Tentang Penulis

Asep Mahmud dilahirkan di Jakarta pada 27 Februari 1970. Penulis menamatkan SDI Al-Azhar Filial Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan pada 1984. Kemudian menamatkan pendidikan menengah di Pondok Pesantren Wali Songo di Desa Ngabar, Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo, pada tahun 1990.

Beberapa pendidikan tinggi pernah ditempuhnya, mulai dari pendidikan diploma satu programmer komputer di IMKA Jakarta pada tahun 1993, diploma dua pendidikan guru madrasah ibtidaiyah di UIN pada tahun 1995, hingga Pendidikan Guru Bahasa Inggris di STKIP Banten, pada tahun 1998.

Sekarang penulis masih aktif mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Al Khairiyah, Pondok Pinang di Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan, sejak tahun 1997.

 


 

Posting Komentar

1 Komentar