Di suatu sekolah dasar, seorang murid kelas tiga sedang
membuka pintu ruang kelas lima dan memanggil kakaknya.
“Kak..! Aku pulang duluan ya, sama teman-teman.” Pamit
Asep pada kakaknya.
“Ya, dik. Hati-hati. Jangan main, ya.” Pesan
kakaknya.
Kerena biasanya Asep suka bermain ke rumah
temannya sepulang sekolah tanpa minta izin dahulu kepada keluarganya.
Hari itu, Jumat pukul sembilan, seluruh murid
kelas tiga pulang terlebih dahulu. Sementara kakak kelas mereka masih harus
belajar hingga pukul setengah sebelas.
Asep meninggalkan sekolah bersama ketiga
temannya, Oman, Udin, dan Yahya. Mereka menyeberang jalan raya bersama-sama. Seperti
biasa mereka melalui Jalan Pelita, Bendi Delapan, lalu belok kanan ke Jalan Bendi
Raya. Selanjutnya mereka akan menyeberang jalan Bintaro raya dan masuk ke Jalan
Nimun. Asep tidak memiliki uang lebih. Karena uang jajannya telah habis.
Pada masa itu, sekitar tahun 1979-1980 , uang
jajan anak sekolah sekitar sepuluh rupiah hingga lima puluh lima rupiah. Cukup
untuk jajan selama di sekolah. Karena biasanya berangkat dan pulang sekolah
hanya berjalan kaki, jadi tidak ada uang tambahan untuk ongkos, kecuali memang
diberikan lebih. Untuk menumpang angkutan opelet atau sejenisnya harus membayar
dua puluh lima hingga lima puluh rupiah untuk pelajar.
Karena rasa takut yang menderanya, Asep mencari
jalan lain dengan harapan dapat menemukan arat jalan ke rumahnya atau teman-temannya.
Akhirnya, dia berbalik arah untuk menelusuri jalan lain. Karena anak kecil ini
belum mengetahui lingkungan dengan baik, dia pun berjalan dengan mengikuti kata
hatinya. Sekitar dua ratus meter berjalan, dia berhenti pada persimpangan.
“Jalannya ke kiri atau lurus, ya?” Tanya Asep
dalam hati dengan rasa kebingungan.
Mengikuti kakinya melangkah, dia pun memilih jalan
lurus hingga bertemu dengan perlintasan kereta api. Padahal jika dia memilih
jalan kiri, maka dia akan bertemu jalan ke arah rumahnya. Di sini, Asep
mengingat rumah salah seorang kakaknya yang berada yang tidak jauh dari
persawahan dekat jalan kereta. Padahal jalan kereta itu panjang. Ini tidak terpikirkan
oleh anak kecil ini. Dia berharap dengan melewati persawahan itu dia dapat menuju
ke rumah kakaknya.
Dengan penuh harap, dia menyusuri jalan kereta.
Untunglah tidak ada kereta yang lewat. Di sepanjang jalan kereta, dia tidak
juga menemukan persawahan yang dimaksud. Tanpa terasa lelah, lebih dari satu
kilo meter dia melewati jalan kereta hingga sampailah dia di pintu perlintasan
kereta Kebayoran Lama. Dia berhenti dan
berpikir, mencari tahu jalan menuju rumahnya.
“Ke kanan atau ke kiri ya?” Pikirnya bingung.
Sebenarnya jika mengambil jalan ke kanan, dia
akan kembali ke arah di mana sekolahnya berada. Namun kali ini dia masih belum
beruntung. Dia berbelok ke kiri dan terus berjalan dan berjalan. Lebih satu jam
sudah dia berjalan. Namun semangatnya untuk pulang mengalahkan rasa lelahnya.
***
Sementara kakaknya telah tiba di rumah pada pukul
sebelas. Setelah menyalami ibunya.
“Euis! Mana adikmu?” Tanya ibu.
“Tadi dia pulang bersama teman-temannya sejak
pukul sembilan, Mak.” Jawab kakak.
“Tapi. Kok belum sampai ya. Coba kamu tanyakan
ke Udin.” Perintah ibu.
Udin bercerita mengenai hewan di jalan Bendi
yang membuat mereka berpencar. Udin yangmasih anak-anak pun bercerita dengan
datarnya. Tanpa rasa takut atau sedih. Seluruh keluarga gempar. Ibu sangat
panik karena anak bungsunya belum juga tiba di rumah sejak tadi. Ibu memberitahu
pada Ayah dan anak-anaknya yang lain. Suasana riuh. Mereka berpencar mencari ke
sana-kemari.
***
Sambil menggendong tas sekolahnya, Asep kembali
berjalan menyusuri jalan aspal. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul
sebelas. Hari semakin panas. Asep tiba di Bunderan Slipi. Sampai di sini,
kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia merasa asing dengan daerah ini. Lalu
matanya tertuju pada gerobak penjual minuman es limun. Dia beranikan diri mendekati.
“Pak, boleh minta air putihnya segelas?” Pinta
Asep yang baru merasa haus.
“Ini, dik.” Kata penjual sambil memberikan
segelas air putih dingin.
“Oh, segarnya.” Katanya lega.
Lebih dua jam berjalan, baru ini terasa sangat
haus.
“Pak, jalan arah ke Tanah Kusir ke mana, ya?”
Tanya Asep kepada penjual minuman.
“Oh, ini Bunderan Slipi. Kalau mau ke Tanah
Kusir masih jauh, dik.” Jelas penjual minuman.
Wajah Asep memucat. Dia kebingungan. Ternyata
dia sudah berjalan sangat jauh.
Tak lama berselang, sebuah motor Vespa
mendekat. Matsani seorang karyawan perusahaan swasta yang tinggal di sekitar
Slipi.
“Mau ke mana, dik?” Tanya Matsani.
“Mau pulang ke Tanah Kusir, Pak.” Jawab Asep
dengan tenang.
“Namamu siapa? Lho, kok bisa sampai di sini?
Kan sangat jauh, dik.” Tanya matsani terheran-heran.
Asep pun menceritakan kronologis peristiwa
hingga dia terdampar di tempat itu. Kalau orang Betawi bilang, “ini anak dibawa
setan keder”. Keder artinya tersesat. Jadi ketika orang keder ini tidak akan merasa
lelah.
“Ayo ikut bapak dulu. Nanti setelah salat Jumat,
bapak antar pulang.” Ajak Matsani.
Tanpa rasa curiga, Asep mengikuti ajakan
Matsani. Dia naik ke Vespa berdiri di depan berpegangan pada setir. Rupanya
Allah memang masih melindungi anak tak berdosa ini.
Sesampainya di rumah petakan Matsani.
“Kamu makan dulu, ya.” Kata Matsani sambil
memberikan sepiring nasi dengan lauk ikan goreng.
“Saya tinggal salat Jumat dulu, ya.” Pamit
Matsani.
Matsani pun meninggalkan Asep yang sedang
makan. Anak ini makan dengan lahapnya. Habis sudah isi piring itu.
“Assalamualaikum.” Matsani memberi salam.
“Waalaikumussalam.” Jawab Asep
“Sudah, makannya?” Tanya Matsani.
“Sudah, pak.” Jawab Asep.
“Ayo sekarang kita berangkat.” Ajak Matsani
Asep mengambil tas dan keluar dari rumah. Lalu
kembali dia naik ke motor Vespa di bagian depan.
“Kamu tahu, kan arah jalan ke rumahmu?” Tanya
Matsani.
Asep mengangguk tanda dia mengetahuinya.
Motor Vespa itu pun melaju. Ketika memasuki
jalan Ciputat Raya dan melewati sekolahnya, Asep mulai mengenali daerah itu. Dengan tenang dia
menunjukan arah belok menuju rumahnya, hingga tibalah mereka di rumah tujuan.
Setelah mesin Vespa berhenti, Asep melompat
memeluk ibunya.
“Ya Allah, kamu kemana saja. Kok baru pulang.”
Seru ibunya sambil menangis.
Semua menangis terharu. Mereka bersyukur atas
kembalinya anak bungsu ini.
Sementara Asep sedang diinterogasi oleh
kakak-kakaknya, Ayah berbicara denga Matsani. Atas nama keluarga, Ayah sangat
berterima kasih kepada Matsani yang telah mengantarkan Asep dengan selamat. Tanpa
banyak bicara, Matsani menyalakan motornya dan pergi. Mungkinkah Matsani yang
menjadi malaikat pelindungnya. Allah yang Maha Mengetahui.
Hingga cerita ini ditulis, yang sangat disayangkan
adalah sosok Matsani yang misterius. Keluarga kami kehilangan jejaknya. Penulis
yang mengalami ini sangat bersyukur atas pertolongannya. Apakah Matsani ini
benar-benar malaikat? Semoga Allah memberikannya pahala yang besar. Apabila
beliau masih hidup, semoga dimudahkan urusannya. Apabila beliau sudah tiada,
semoga beliau mendapat ampunan atas segala dosa-dosanya dan diluaskan lubang
kuburnya, serta dimasukkan ke dalam surga. Amin ya rabbal ‘alamin.
16 Ramadan 1443h / 18 April 2022
Bin Mahali
Teman yang disebut : Almarhum Oman.
Yahya dan Udin, semoga pada sehat selalu.
3 Komentar
Super sekali bang asep ,salam keluarga
BalasHapusAfwan
HapusIni siapa ya?
Waalaikumussalam. Semoga sehat selalu
BalasHapus