Seorang guru mengangkat sebuah penghapus dengan tangan kanannya dan pensil pada tangan kirinya. Lalu ia bertanya kepada muridnya; apa yang di kanan saya? Murid menjawab, penghapus. Kemudian tangan kirinya di angkat dan bertanya, apakah ini? Mereka menjawab pensil.
Baiklah, lanjut pak Guru. Sekarang yang kamu lihat pensil tapi sebutlah ia penghapus, dan begitu pula penghapus, katakan ia pensil.
Lalu Pak guru bertanya, apa di kanan saya? Beberapa murid menjawab sesuai perubahan, dan sebagian lagi bingung dan salah menjawab. Namun karena makin sering dilatih, merekapun mengatakan pensil untuk penghapus, dan penghapus untuk pensil.
Apakah ini hanya permainan belaka? Tidak! Ini adalah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin dan bangsa kita. Apakah itu?
Ketika ada yang tidak berpuasa, padahal ia orang muslim, dan ia tidak sakit atau lemah, ia malah makan dan minum atau merokok sembarangan, di jalan, di tempat-tempat umum dan terlihat di mata orang lain yang berpuasa. Pada mulanya orang menganggap ini memang sebuah kesalahan dan harus diperbaiki. Bila tidak berpuasa, hormatilah orang lain yang berpuasa.
Namun lama kelamaan hal seperti ini menjadi suatu yang lumrah dan pemandangan biasa. Itulah yang terjadi pada kita. Melihat kesalahan dan perbuatan dosa yang sudah jelas itu dosa dan keliru, lama kelamaan menjadi kebiasaan. Yang pastinya adalah Kebiasaan Buruk.
Contoh lain, pergaulan laki-laki dan perempuan; pada mulanya adalah suatu yang tabu, berjalan bergandengan dengan orang yang bukan mahramnya, berboncengan, hingga tinggal se rumah. Bahkan hingga hamil di luar nikah. Na’udzu billahi min dzalik. Tapi lama kelamaan, hal-hal semacam ini jadi pemandangan biasa. Kita tidak berani bertindak mencegah atau melarang. Akhirnya ini menjadi kebiasaan dan lumrah.
Lalu apa tugas kita?
Dari Abi Said al Khudri: Rasulullah Saw bersabda:
Man ra-aa minkum munkaran, fal yughayyirgu biyadihi, fain lam yastathi’ fa blilisaanihi, fa in lam yastathi’ fa biqalbihi, fahuwa adh-‘aful iimaani. (hadits)
Siapa yang melihat kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (power). Bila tidak sanggup, ubahlah dengan ucapan. Bila tidak juga, maka ubahlah dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.
Jadi orang beriman itu — apabila melihat kemunkaran— mencegah dengan tangan, ini adalah tugas aparat dan pemerintah, baik kepolisian hingga hansip, dari presiden hingga pak RT. Karena pada tangan merekalah kekuasaan.
Tapi bila tidak punya power(kekuasaan), , maka dengan lisan/ucapan. Ini adalah tugas para ustadz, kiyai, ulama, pendeta, pastor, dll. Mereka berkhotbah, memperingatkan, dan mengajak kembali ke jalan yang benar.
Namun bila tidak mampu seperti kita ini, maka hati kita yang bicara. Hati kita berdoa, kita membenci perbuatan mereka, bukan pada orangnya. Berdoalah agar mereka dapat kembali ke jalan Allah. Jalan yang lurus.
Doa kita, ihdinash shiraathal mustaqiima. (tunjukkanlah kami jalan yang lurus) dst.
Makanya ketika berdoa kita tidak boleh egois, hanya memperuntukkan bagi diri sendiri melainkan mendoakan saudara/kerabat/keluarga/hingga bangsa kita.
Allaahumma arinal haqqa haqqan war zuqnat tibaa’ahu, wa arinal baathila baathilan war zuqnaj tinaabahu.
Ya Allah, tunjukkanlah pada kami bahwa yang benar itu benar, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah pada kami bahwa yang bathil itu bathil, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Hadaanallaahu wa iyakum ajma’in…
0 Komentar